Perdebatan Status Bencana Nasional di Sumatera: Ketakutan, Kepentingan, dan Tanggung Jawab Lingkungan
1. Mengapa status “Bencana Nasional” menjadi sensitif?
Beberapa faktor yang kerap disebut pengamat kebencanaan dan kebijakan publik:
Konsekuensi hukum dan politik
Status Bencana Nasional akan menyeret tanggung jawab lintas kementerian dan pemerintah daerah.
Membuka kemungkinan audit besar-besaran pada tata kelola lingkungan, tata ruang, dan perizinan.
Dampak pada citra pemerintahan dan daerah
Penetapan status nasional sering dipersepsikan sebagai indikator kegagalan mitigasi dan tata kelola risiko.
Kekhawatiran terhadap dampak reputasi pada investasi dan iklim usaha daerah.
Implikasi anggaran dan prioritas kebijakan
Mengubah skema pembiayaan: penanganan tidak hanya berbasis daerah tetapi diambil alih dan diprioritaskan oleh pusat.
Membuka pertanyaan publik soal kecukupan Dana Siap Pakai, dana rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Penegakan hukum setelah bencana
Status nasional dapat memperkuat dasar penegakan hukum terhadap pihak yang diduga melanggar aturan lingkungan dan kehutanan sebelum bencana.
2. Isu kerusakan hutan dan lingkungan: apa yang dikhawatirkan?
Diskursus publik juga menyoroti hubungan antara banjir bandang, longsor, dan kerusakan hutan/lahan. Hal-hal berikut sering menjadi pusat perhatian:
deforestasi dan degradasi hutan lindung
alih fungsi lahan skala besar
perizinan perkebunan, tambang, dan HPH
pelanggaran tata ruang daerah aliran sungai (DAS)
minimnya rehabilitasi hutan dan lahan kritis
Kekhawatiran sebagian masyarakat adalah bahwa penetapan status Bencana Nasional akan:
mendorong audit menyeluruh izin-izin lama,
membuka temuan pelanggaran tata kelola,
menuntut akuntabilitas lebih luas dari pemerintah pusat dan daerah, serta korporasi.
Karena itu, muncul persepsi publik bahwa isu-isu lingkungan tertentu kurang dibicarakan secara terbuka. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa tuduhan “ditutupi” harus dibuktikan melalui mekanisme resmi, audit independen, dan proses hukum, bukan sekadar asumsi.
3. Apa yang sebenarnya dibutuhkan korban?
Terlepas dari perdebatan status, korban membutuhkan hal-hal nyata:
bantuan darurat yang cepat dan merata
pemulihan infrastruktur dasar
kejelasan relokasi bagi wilayah berisiko tinggi
rehabilitasi lingkungan jangka panjang
transparansi data dan informasi risiko
4. Kerangka hukum: UU Penanggulangan Bencana
Isu ini tidak bisa dilepaskan dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan aturan turunannya. Intinya:
Status bencana mempertimbangkan korban jiwa, kerugian harta, luas wilayah terdampak, kerusakan infrastruktur, dan dampak sosial ekonomi.
Penetapan status nasional melibatkan pertimbangan:
kemampuan daerah menangani bencana
kebutuhan dukungan lintas wilayah dan lintas sektor
Pemerintah bertanggung jawab:
mitigasi, pencegahan, kesiapsiagaan
respons darurat
rehabilitasi dan rekonstruksi
UU juga menekankan:
perlindungan warga negara
peran partisipasi masyarakat
pentingnya pengelolaan lingkungan berkelanjutan sebagai bagian mitigasi bencana
5. Pesan penting ke depan
Alih-alih hanya memperdebatkan status, ada dua agenda besar:
Transparansi
Publik membutuhkan keterbukaan terkait data kerusakan lingkungan, izin, dan tata ruang.
Evaluasi kebijakan pemanfaatan hutan dan lahan harus berbasis sains dan partisipatif.
Reformasi mitigasi risiko
Rehabilitasi hutan dan DAS
Penguatan peringatan dini
Penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan
Relokasi dari kawasan berisiko sangat tinggi
Kesimpulan
Perdebatan mengenai status Bencana Nasional tidak semata teknis, tetapi sarat dimensi politik, hukum, lingkungan, dan tata kelola. Kekhawatiran akan akuntabilitas pengelolaan hutan dan lahan menjadi bagian tak terpisahkan dari diskursus ini. Yang terpenting, kebijakan apa pun yang diambil seharusnya menempatkan keselamatan warga dan pemulihan ekosistem sebagai prioritas utama.
(TIM/Redaksi)

0 Komentar